Langsung ke konten utama

Hujan Badai


Ayah berkata aku tidak boleh menangis
Aku harus kuat dan tegar seperti pohon trembesi
Tinggi kuat kokoh mengayomi
Tak gentar akan terpaan angin sapuan badai
Berakar mendalam di dalam hati
Bertahan membendung air mata yang tumpah

Ayah berkata aku tidak boleh menangis
Sebab ia adalah lingkaran setan
Ia terus memanggil kawan-kawannya
Tanpa bisa aku merasa puas

Ayah berkata aku tidak boleh menangis
Sebab ia tidak membawa solusi
Pun kedewasaan tidak ada dalamnya
Serta kesia-siaanlah yang dituainya

Tapi kini apa yang harus kulakukan ayah
Air mataku tak mau berhenti mengalir
Ia memberontak untuk ditumpahkan
Berlari berkejar-kejaran
Berlomba-lomba menghancurkan aku

Hatiku yang dangkal tak mampu membendungnya
Akar logikaku meronta
Cabang-cabang perasaanku meraung-raung

Aku galau dan goyah ayah
Badai menerpa di tiap tepianku
Kepada siapa aku harus berpegang?

Aku hanya bisa tersungkur pasrah
Tertunduk lemah
Berdoa agar peperangan ini berakhir segera
Berharap kedamaian menampakkan wajahnya

Ah, ayah
Andai tak kutabur benih riak ombak
Tak kutanam dia dalam-dalam
Tak kan kumenuai prahara

Aku menyesal ayah
Tak kan kuulangi
Aku mencoba kembali tegak berdiri
Tetapi kenapa air mataku tetap tak mau berhenti?
----------------------------------------------------------------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATILAH RASA

Istirahlah dalam kesunyian hai jiwaku Engkau dalam ikatan benang-benang takdir Sekali lagi bercakap di dalam hatiku Aku mabuk dalam mimpi-mimpimu Lupa akan segala rasa sakit dan pahit Sekali lagi membangkitkan amuk api Istirahlah dalam kesunyian hai jiwaku Engkau dalam ikatan benang-benang takdir Takkan terlepas terhempas selamanya Matikan rasa jiwaku Lepaskan aku dari apimu Matilah engkau!

Catatan Seorang Mahasiswa Farmasi

Masa PPK: Perlahan aku menjejaki kampus pagi ini Mencari-cari ruang PPK fakultas farmasi Aku menarik nafas dalam-dalam Aku sadar kini aku seorang mahasiswa Ya! Aku bukan lagi siswa biasa! Berlalu sudah masa abu-abu putih Tapi aku tak boleh berhenti belajar berlatih Demi cita-cita Demi memanusiakan manusiaku Mereka bilang aku seorang pelarian Dari rangkulan dokter ke pelukan apoteker Biar mereka mengejek mencaci Dan berlalu bersama kekecewaan pergi Aku mengukir kata ini di dadaku: FARMASI Ya! Aku memilihmu! Aku tak akan lari Selama Si DO tak menghampiri Masa kuliah: Kau tahu? Aku berusaha tidak terkejut dan takut Saat membaca ISO, HPE, Farmakope, Martindale Saat memegang kodok, kelinci, tikus, dan cindil Aku berusaha menepis rasa sulit Saat menghafal nama-nama parasit Saat mengerjakan laporan likuid dan solid Kau tahu? Aku berusaha tidak KO Sebelum aku benar-benar mengerti KO Aku selalu berusaha menghilangkan rasa stress Tanpa aku harus mengkonsumsi SS Kau tahu? Aku berusa

Ayah Bukan Malaikat

Aku melihat bayangannya yang sudah separuh menghilang tenggelam dalam pekat. Ingin aku menahannya namun aku tidak kuasa. Dia telah menjauh. Ujung mantel panjangnya yang hitam berkibar diterpa angin. Mengibas-ibas pikiranku tanpa arah. Namun dia tak peduli dan terus melangkah hingga akhirnya ia benar-benar ditelan oleh malam. “Menemui orang itu lagi?” Sebaris pertanyaan itu menyambut aku yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu dan langsung duduk di atas kursi sofa. Kuletakkan tas ransel besar yang membebani pundakku sedari tadi. Dengan segera terdengar derap langkah yang menghampiriku. “Kenapa kamu selalu tidak pernah menjawab pertanyaan Ibu?” Aku memalingkan muka, berusaha tidak memandang wajah wanita yang matanya melotot ini. Sudah selayaknya aku tidak ikut terbawa emosi negatif dari wanita ini. Semenit kemudian wanita ini telah menyerah untuk mendesak aku menjawab pertanyaannya. Tampaknya ia menyadari kesalahan besar yang d