Langsung ke konten utama

Aku Pria | Wanita Aku


Aku punya mimpi suatu hari manusia tidak lagi terkotak-kotak. Tersudut dalam dua buah pilihan. Pilihan antara laki-laki atau perempuan...


Aku tertunduk diam saja ketika dia mulai meracau dengan kata-katanya yang tidak jelas. Benar tubuhku ada di sana, namun pikiranku memberontak untuk dikendalikan ia terbang bersama angin semilir yang membelai tubuhku sedari tadi.


Kuliah

“Baik, ayo yang cewek angkat tangan semua! Pindah ke sebelah sini. Sisanya yang cowok-cowok pindah sebelah sana! Ayooo…buruaaaannnn!!!! “ “Lho kamu, kamu kok diam di tengah situ, ayo pindah!”
“Pindah ke mana?”
“Ke kanan atau kiri saya, dong. Pilihannya cuma dua, mau ke mana lagi???”
“Tapi saya bingung, mau ke kanan atau ke kiri…”
“Aduh!!! Ini anaknya siapa sih? Ayo mentornya ditangani dong, pusing deh!!!”
Eh kamu, liat mata saya, denger baik-baik apa yang saya katakan, jangan buat saya marah. Kalau kamu cowok cepat pindah sebelah kiri saya, kalau kamu cewek maka pindah kanan saya. Jelas?!?!”
“Tapi…”
“Tapi???”
“Tapi aku masih bingung mau ke kanan atau ke kiri…”


Aku membelalakkan mata. Kulihat atap kamarku dengan jelas. Ah, kejadian itu lagi. Seperti film rusak, terulang-ulang terus. Peristiwa lima tahun lalu di awal masa ospek. Tidak bisa kulupakan hari itu. Hari di mana aku merasa terperangkap. Terperangkap dalam suatu jerat yang disebut GENDER. 


Kuliah

“Kamu jangan pakai baju kayak cowok terus, sekali-kali pakai baju cewek dong!”
“Tapi aku nggak merasa ini bajunya cowok...”
“Aduh…kamu buta apa gimana sih? Orang buta aja tau kalau yang kamu pakai itu bajunya cowokkkk!!!”
“Tapi yang penting aku nyaman makainya, kan? Bukannya kalau pakai baju itu yang paling penting kita nyaman dan PD ya???”
“Nyaman di kamu, nggak nyaman di kita! Inget nggak januari kemarin pas kita jalan ke mall? Waktu itu pacar aku lihat kita gandengan bareng di mall. Habis kita pisah terus pulang masing-masing, pacar aku Si Jo udah nunggu di depan rumah, marah-marah sambil minta putus. Aku udah jelasin kalau kamu itu cewek tapi dia tetep nggak percaya! Akibatnya kita putus deh, padahal baru seminggu jadian!”
“Maaf ya... Coba waktu itu kamu bilang ke aku, pasti aku samperin Si Jo itu…”
“Udah telat… Yang lalu biar berlalu deh! Yang penting sekarang kamu harus ubah penampilan kamu itu, biar nggak ada korban lain kayak aku. OK???”
“Kalau aku nggak mau, gimana?”
“Kita putus!!!”
“Putus??? Kapan kita jadiannya???”
“Yak ampun!!!”
“Sal..sal...sabaaarrrr dong...” Nia dan Gina mencoba menenangkan Si Sally yang mukanya sudah semakin merah dan merapat ke wajahku.
“Gini, pokoknya kamu harus jadi cewek seutuhnya, kalau nggak, kita nggak usah temenan lagi, kita putuskan persahabatan kita!”


Ah, satu peristiwa lagi terputar ulang dalam memoriku. Angin ini tak henti-hentinya membawa angan-anganku. Hmmm... Lho kamu... Kamu siapa??? Iya, kamu, kamu yang lagi baca cerita ini, siapa kamu? Hah, siapa? Ah sudahlah, tak penting siapa namamu, yang penting adalah kamu laki-laki atau perempuan?


Namaku Arkin. Aku punya sejuta pengalaman tentang gender. Sebelum semua ribut soal persamaan gender, aku sudah menjerit terlebih dahulu. Aku mulai menyadarinya saat aku baru masuk SD...


SD Kelas I

“Ma, tadi di sekolah aku ditanya bu guru kenapa aku kok tidak pakai rok. Kata bu guru kalau perempuan harus pakai rok, Ma...”
“Memangnya Arkin perempuan?”
“Iya dong, Ma! Kata bu guru aku ini perempuan!”
“Tapi Arkin merasa gimana?”
“Arkin merasa seperti perempuan tidak?”
“Tidak, Ma…”
“Kalau begitu, Arkin merasa seperti laki-laki?”
“Tentu saja tidak!”
“Nah, tuh kan... Arkin mengerti kan, bu guru yang salah paham sama Arkin. Arkin nggak perlu khawatir lagi. Arkin belajar baik-baik saja biar pinter...”
“Ma...”
“Iya, Nak???”
“Boleh nanya satu pertanyaan lagi?”
“Tentu saja boleh…”
“Apa ada pilihan lain selain perempuan atau laki-laki?”


Kuliah

“Kin, kenapa sih kamu nggak mau pakai rok?”
“Kamu pernah pakai bikini di tengah jalan raya, nggak?”
“Pertanyaan macam apa itu? Konyol, ah!”
“Nah, itu jawabannya! Aku juga merasa konyol. Aku nggak nyaman!”
“Masa sih seumur hidup kamu nggak pernah pakai rok?”
“Emang kenapa aku harus pakai rok?”
“Kan kamu itu cewek, CEWEK!”
“Emang kalau cewek harus pakai rok?”
“Ya iyalah! Itu hukumnya wajib! Masa cewek belum pernah pakai rok seumur hidupnya?!”
“Kalau gitu mulai besok cowok Scotland gak boleh pakai kilt!”



Sally memutuskan persahabatannya denganku sebulan yang lalu. Dia bilang meski aku anaknya asik tapi dia nggak kuat ngadepin aku. Katanya aku terlalu rumit untuk dijadikan sahabat. Dia mau cari sahabat yang normal. Ah..sekarang bahkan untuk cari sahabat pun dibutuhkan status yang jelas. Laki-laki atau perempuan...


Playgroup

“Ma, Arkin mau beli boneka!”
“Boneka apa sayang?”
“Boneka Barbie, Ma! Yang itu!”
“Maaf ya Arkin, mama nggak bisa belikan untuk kamu...”
“Memangnya kenapa, Ma?”
“Itu mainannya cewek, Arkin… Nggak cocok buat kamu…”
“Terus Arkin bolehnya main apa dong, Ma?”
“Arkine nggak boleh main-main terus ya... Arkin harus belajar baik-baik supaya pinter...”


“Kin...ayo sini! Aku punya banyak boneka Barbie, lho...”
“Waaahhh...cantik-cantik ya bonekamu...”
“Ayo...ayo kita dandanin bareng...”
“Tapi... tapi...”
“Kenapa, Kin?”
“Tapi mama bilang nggak boleh main Barbie, itu mainannya cewek...”
“Kata bu guru kita itu cewek, jadi kamu boleh main Barbie. Ayo sini! Nah, ini baju-bajunya, semua model terbaru, mama baru beli kemarin...”

…….

Lho, Kin? Kamu kok diem??? Bajunya jangan cuma dipegang aja!”
“Hmm… Aku… Aku mau pulang aja… Bye!
Lhooo…Kin??? Kin???”


“Ma...”
“Iya, sayang...”
“Arkin mau cerita...”
“Iya, sayang...cerita aja, mama pasti dengerin apa kata Arkin...”
“Tadi Arkin diajakin Brenda main Barbie…”
“Trus Arkin ikutan main?”
“Iya Ma, tapi cuma sebentar aja. Waktu disuruh mulai ngedandanin Barbie, Arkin pulang...”
Lho, kenapa kok tiba-tiba pulang?”
“Arkin ngerasa aneh, Ma...”
“Aneh gimana?”
“Ya aneh, Ma, aneh rasanya pas pegang Barbie…”
“Tuh kan, apa mama bilang… Barbie itu mainannya anak cewek, bukan buat Arkin! Lain kali Arkin harus lebih percaya sama Mama ya...”
“Iya, Ma...”


Kuliah

“Kin, kamu meski macho gitu, dulu pas SD sampai SMA pastinya pakai rok, kan ya? Liat fotomu yang dulu-dulu dong. Penasaran aku…”
“Aku nggak punya foto kayak gitu. Aku selalu pakai celana kok…”
Hah, masa???”
“Kalau seragamnya cewek kan rok, kok bisa kamu pakai celana?”
“Aku home schooling sejak SD sampai SMA…”
Lho...kenapa?”
“Mama yang nyuruh...”
Wah, berarti kamu nggak pernah ngerasain ramenya belajar di sekolah umum ya?”
“Pernah… Tapi cuma seminggu aja pas kelas 1 SD…”
Lho, terus kok nggak diterusin?”
“Soalnya sama bu guru tiap hari ditegur, disuruh pakai bawahan rok…”


Kuliah

“Kin…aku kan sering lihat kamu sama mama kamu, tapi aku belum pernah lihat papa kamu. Papa kamu di mana, Kin?”
“Nia…papa aku ada di surga…”


SD Kelas I

“Jadi, Bu Lena, Pak Ardi menyatakan dalam surat wasiatnya bahwa seluruh harta kekayaannya akan diberikan kepada putranya….”
“Tapi Pak Arif, Anda sendiri mengetahui bahwa saya hanya memiliki seorang putri. Apakah hal tersebut tidak salah?”
“Begini, Bu, dalam register keluarganya Pak Ardi memiliki seorang putra…”
Hah???? Siapa...???”
“Arkin, Bu...”
“Tapi Arkin itu perempuan, Pak Arif...”
“Wah, saya tidak tahu, Bu... Dalam register keluarganya Pak Ardi menuliskan bahwa Arkin itu laki-laki...”
“Apa maksudnya Si Ardi ini?! Sudah mati masih bikin susah orang...”
“Mungkin maksudnya supaya warisan dari kakeknya Arkin bisa jatuh juga ke tangan Arkin, Bu...”
“Maksudnya?”
“Pak Ardi sebagai putra tunggal memperoleh seluruh kekayaan warisan bapaknya. Di dalam wasiat kakeknya Arkin, disebutkan kalau warisan tersebut, bila masih ada, merupakan hak dari setiap putra tertua. Bila sampai putra tertua tidak memiliki keturunan pria maka warisan tersebut akan diserahkan ke negara...”
“.......”


SD Kelas III

“Ma...Arkin boleh pakai rok itu? Cantik sekali...”
Nggak boleh! Cuma cewek yang pakai rok!”
“Tapi, Ma...Arkin pernah lihat foto papa waktu kecil. Papa juga pakai rok, kok!”
Hah??? Lihat di mana kamu???”
“Album foto yang di gudang, ma...”

Aku ingin memiliki seorang putri, namun di keluarga ini diharamkan untuk memiliki putri. Kesempatanku pun juga sudah  hilang. Dokter mengangkat kandunganku setelah aku melahirkan Ardi...

“Jadi ini alasan mama mendandani Ardi kecil? Ah…..bisa gila aku hidup di keluarga aneh ini!!!"



“Arkin…”

Tiba-tiba Nia memeluk aku dari belakang.

“Ngapain kamu duduk diem di sini? Lihat sunset ya???”
“Bukan… Lagi merenung aja...”
“Aku tadi kaget lho... Pas Gina masih ngomong soal rencana tahun baru kita, kamu tiba-tiba pergi. Aku pikir kamu sakit...”
“Ah...maaf ya...pikiranku nggak bisa dikendalikan soalnya... Begitu nyadar aku udah duduk di bibir pantai ini...”
“Dasar, Arkin…! Kamu mesti bermain-main dengan pikiranmu sendiri…”

Nia mengacak-acak rambutku dengan gembiranya. Aku tidak bisa mengelak.

“Eh…kamu tahu nggak, Si Sally dapet gebetan baru. Mereka jadian kemarin…”
“Oh ya??? Bagus dong kalau gitu…”
“Kamu masih marah ya? Susah ya untuk maafin Si Sally?”
“Aku nggak akan maafin Si Sally… Karena Sally nggak pernah salah…”
“Hmm… Berarti kamu udah nggak ada beban sama Si Sally ya?”
Nggak kok…”
…….
“Nia…kamu kok mau temenan sama aku? Kamu nggak merasa aneh kayak Sally?”
Nggak kok... Aku merasa nyaman-nyaman aja sama kamu...”
“Kamu merasa aku ini laki-laki atau perempuan?”
“Kenapa definisi dirimu sebegitu sempitnya, Kin? Kamu merangkum dirimu hanya dalam dua buah pilihan?”


Aku tersenyum mendengar jawaban Nia. Kali ini ganti aku memeluknya. Awan mendung di hatiku sudah hilang entah ke mana. Mungkin suatu saat nanti masih banyak lagi pertanyaan rumit yang harus kujawab. Lebih rumit dari masalah toilet cowok atau cewek. Pertanyaan tentang pasangan, pernikahan, keturunan… Ah, masa bodoh, yang penting aku nyaman dengan diriku sendiri… dan tentu saja aku nyaman dengan teman-temanku yang berpikiran luas, seluas tepi lautan lepas... (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATILAH RASA

Istirahlah dalam kesunyian hai jiwaku Engkau dalam ikatan benang-benang takdir Sekali lagi bercakap di dalam hatiku Aku mabuk dalam mimpi-mimpimu Lupa akan segala rasa sakit dan pahit Sekali lagi membangkitkan amuk api Istirahlah dalam kesunyian hai jiwaku Engkau dalam ikatan benang-benang takdir Takkan terlepas terhempas selamanya Matikan rasa jiwaku Lepaskan aku dari apimu Matilah engkau!

Catatan Seorang Mahasiswa Farmasi

Masa PPK: Perlahan aku menjejaki kampus pagi ini Mencari-cari ruang PPK fakultas farmasi Aku menarik nafas dalam-dalam Aku sadar kini aku seorang mahasiswa Ya! Aku bukan lagi siswa biasa! Berlalu sudah masa abu-abu putih Tapi aku tak boleh berhenti belajar berlatih Demi cita-cita Demi memanusiakan manusiaku Mereka bilang aku seorang pelarian Dari rangkulan dokter ke pelukan apoteker Biar mereka mengejek mencaci Dan berlalu bersama kekecewaan pergi Aku mengukir kata ini di dadaku: FARMASI Ya! Aku memilihmu! Aku tak akan lari Selama Si DO tak menghampiri Masa kuliah: Kau tahu? Aku berusaha tidak terkejut dan takut Saat membaca ISO, HPE, Farmakope, Martindale Saat memegang kodok, kelinci, tikus, dan cindil Aku berusaha menepis rasa sulit Saat menghafal nama-nama parasit Saat mengerjakan laporan likuid dan solid Kau tahu? Aku berusaha tidak KO Sebelum aku benar-benar mengerti KO Aku selalu berusaha menghilangkan rasa stress Tanpa aku harus mengkonsumsi SS Kau tahu? Aku berusa

Ayah Bukan Malaikat

Aku melihat bayangannya yang sudah separuh menghilang tenggelam dalam pekat. Ingin aku menahannya namun aku tidak kuasa. Dia telah menjauh. Ujung mantel panjangnya yang hitam berkibar diterpa angin. Mengibas-ibas pikiranku tanpa arah. Namun dia tak peduli dan terus melangkah hingga akhirnya ia benar-benar ditelan oleh malam. “Menemui orang itu lagi?” Sebaris pertanyaan itu menyambut aku yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu dan langsung duduk di atas kursi sofa. Kuletakkan tas ransel besar yang membebani pundakku sedari tadi. Dengan segera terdengar derap langkah yang menghampiriku. “Kenapa kamu selalu tidak pernah menjawab pertanyaan Ibu?” Aku memalingkan muka, berusaha tidak memandang wajah wanita yang matanya melotot ini. Sudah selayaknya aku tidak ikut terbawa emosi negatif dari wanita ini. Semenit kemudian wanita ini telah menyerah untuk mendesak aku menjawab pertanyaannya. Tampaknya ia menyadari kesalahan besar yang d