Langsung ke konten utama

Catatan Seorang Mahasiswa Farmasi

Masa PPK:

Perlahan aku menjejaki kampus pagi ini
Mencari-cari ruang PPK fakultas farmasi

Aku menarik nafas dalam-dalam
Aku sadar kini aku seorang mahasiswa
Ya! Aku bukan lagi siswa biasa!

Berlalu sudah masa abu-abu putih
Tapi aku tak boleh berhenti belajar berlatih
Demi cita-cita
Demi memanusiakan manusiaku

Mereka bilang aku seorang pelarian
Dari rangkulan dokter ke pelukan apoteker
Biar mereka mengejek mencaci
Dan berlalu bersama kekecewaan pergi

Aku mengukir kata ini di dadaku: FARMASI
Ya! Aku memilihmu!
Aku tak akan lari
Selama Si DO tak menghampiri

Masa kuliah:

Kau tahu?

Aku berusaha tidak terkejut dan takut
Saat membaca ISO, HPE, Farmakope, Martindale
Saat memegang kodok, kelinci, tikus, dan cindil

Aku berusaha menepis rasa sulit
Saat menghafal nama-nama parasit
Saat mengerjakan laporan likuid dan solid

Kau tahu?

Aku berusaha tidak KO
Sebelum aku benar-benar mengerti KO

Aku selalu berusaha menghilangkan rasa stress
Tanpa aku harus mengkonsumsi SS

Kau tahu?

Aku berusaha belajar faal
Meski kepalaku sudah ingin di atas bantal

Aku berusaha menggunakan waktuku yang mepet
Untuk kembali mengulang KF Med

Kau tahu?

Aku bukan orang yang terlalu cerdas
Tapi aku bisa mengerti kimdas dan mikdas

Aku bukan buku direktori
Tapi kepalaku memuat kumpulan taksonomi

Kau tahu?

Aku berusaha sabar
Meng-antri, anspek, ankrom
Belajar titrasi, spektrofotometri, kromatografi
Menggunakan buret, spektro UV, HPLC

Kau tahu?

Saat ujian aku takut salah
Seperti orang di hadapan hakim
Namun di depan mataku adalah
Soal-soal biokim

Kau tahu?

Terkadang aku menangis putus asa
Tapi engkau menceritakan aku sebuah kisah
Antara mikrobiologi dan sterilisasi
Antara indikasi dan kontra indikasi
Antara bahan pengikat dan bahan penghancur
Lantas aku tahu paham: koin selalu bersisi dua
Tanpa keduanya ia jadi tak berharga

Kau tahu?

Berkat kau aku bertemu banyak orang
Berbagai asal usul pun latar belakang
Dan aku belajar tidak membeda-bedakannya
Seperti Titrasi Bebas Air dan Teknologi Bahan Alam
Meski berbeda mereka tetap TBA

Kau tahu?

Berkat kau aku tahu genetika
Saudara kembar pun ternyata tidak persis sama
Seperti jamu dan jamut
Seperti kimfis dan farfis
Seperti SSO dan SPO
Seperti fitokim dan fitomed
Seperti etfar, ansedfar, manfar, biofar, dan komfar
Serupa tapi tak sama

Kau tahu?

Aku berusaha segenap hati
Dari preskripsi, imunologi, farmakologi
Dari farmakognosi, patofisiologi, bioteknologi
Dari skripsi bahkan hingga program profesi

Farmasi, aku tak akan lari!
Aku akan mengejarmu
Farmasi, cintaku!
Bukan demi S.Farm., Apt.
Bahkan lebih dari itu!
Demi memanusiakan manusiaku

Before graduation:

Kini aku duduk di tepi kolam memandang mega
Menatap hari aku diwisuda

Menerawang lebih jauh lagi
Dan melihat hari saat aku mengucap janji
Rasanya sudah tak sabar lagi!

Farmasi, aku berjanji padamu
Ilmu yang telah kuserap darimu akan kubagikan
Meski suatu saat mungkin ia akan berubah
Namun ia tidak akan terekskresi
Walau hal ini agak beda dengan proses farkin
Kau harus tetap percaya dan yakin!

Graduation day:

Aku mengucap syukur hari ini
Akhirnya aku tahu
Tuhan telah menempatkan semuanya begitu cantik
Tanpa perlu polesan kosmetik :)

Komentar

  1. nice job, amazing word,
    let me join in this site
    http://warung-kesehatan.blogspot.com/

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATILAH RASA

Istirahlah dalam kesunyian hai jiwaku Engkau dalam ikatan benang-benang takdir Sekali lagi bercakap di dalam hatiku Aku mabuk dalam mimpi-mimpimu Lupa akan segala rasa sakit dan pahit Sekali lagi membangkitkan amuk api Istirahlah dalam kesunyian hai jiwaku Engkau dalam ikatan benang-benang takdir Takkan terlepas terhempas selamanya Matikan rasa jiwaku Lepaskan aku dari apimu Matilah engkau!

Ayah Bukan Malaikat

Aku melihat bayangannya yang sudah separuh menghilang tenggelam dalam pekat. Ingin aku menahannya namun aku tidak kuasa. Dia telah menjauh. Ujung mantel panjangnya yang hitam berkibar diterpa angin. Mengibas-ibas pikiranku tanpa arah. Namun dia tak peduli dan terus melangkah hingga akhirnya ia benar-benar ditelan oleh malam. “Menemui orang itu lagi?” Sebaris pertanyaan itu menyambut aku yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu dan langsung duduk di atas kursi sofa. Kuletakkan tas ransel besar yang membebani pundakku sedari tadi. Dengan segera terdengar derap langkah yang menghampiriku. “Kenapa kamu selalu tidak pernah menjawab pertanyaan Ibu?” Aku memalingkan muka, berusaha tidak memandang wajah wanita yang matanya melotot ini. Sudah selayaknya aku tidak ikut terbawa emosi negatif dari wanita ini. Semenit kemudian wanita ini telah menyerah untuk mendesak aku menjawab pertanyaannya. Tampaknya ia menyadari kesalahan besar yang d