Langsung ke konten utama

Ayah Bukan Malaikat


Aku melihat bayangannya yang sudah separuh menghilang tenggelam dalam pekat. Ingin aku menahannya namun aku tidak kuasa. Dia telah menjauh. Ujung mantel panjangnya yang hitam berkibar diterpa angin. Mengibas-ibas pikiranku tanpa arah. Namun dia tak peduli dan terus melangkah hingga akhirnya ia benar-benar ditelan oleh malam.
“Menemui orang itu lagi?” Sebaris pertanyaan itu menyambut aku yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu dan langsung duduk di atas kursi sofa. Kuletakkan tas ransel besar yang membebani pundakku sedari tadi. Dengan segera terdengar derap langkah yang menghampiriku. “Kenapa kamu selalu tidak pernah menjawab pertanyaan Ibu?” Aku memalingkan muka, berusaha tidak memandang wajah wanita yang matanya melotot ini. Sudah selayaknya aku tidak ikut terbawa emosi negatif dari wanita ini. Semenit kemudian wanita ini telah menyerah untuk mendesak aku menjawab pertanyaannya. Tampaknya ia menyadari kesalahan besar yang dia lakukan dengan bertanya: kenapa tidak menjawab. Ia ingin aku menjawabnya dengan kata-kata. Pertanyaan bodoh macam apa ini! Sudah barang tentu aku tidak mampu memenuhi permintaannya!
Ia akhirnya kembali ke dapur dan melanjutkan menyiapkan makan malam. “Ganti baju, mandi, dan langsung ke meja makan. Sepuluh menit lagi masakan sudah siap,” ujarnya lemas. Pertanyaan itu kujawab dengan langkah kakiku menuju kamarku di lantai atas. Saat akan meletakkan jaket abu-abu yang kugunakan, sesuatu terjatuh. Aku memungutnya. Sebuah amplop coklat. Aku mengeluarkan isinya. Ada sejumlah lembaran uang sepuluh ribuan. Kalau dihitung ternyata jumlahnya seratus lima puluh ribu. Aku merogoh kantong amplop dengan bukaan samping itu lebih dalam lagi dan menemukan secarik kertas putih kecil. Aku membuka kertas itu dan membaca tulisan tegak bersambung dengan tinta hitam.
Pakai uang ini untuk keperluan kuliahmu.
Tidak banyak, namun setidaknya bisa mengurangi beban ibumu.
- Dari orang yang selalu mengasihi kamu dan ibumu-
            Rupanya laki-laki itu memasukkan amplop ini sesaat sebelum kami berpisah. Memang tadi dia memelukku sejenak, jadi tidak aneh kalau dia bisa memasukkan amplop ini. Tetapi seperti kata ibu, dia bukan laki-laki yang baik. Tidak ada sinkronisasi antara kata-kata yang diucapkannya dengan kelakuannya. Kalau benar dia mengasihi kami, dia tidak akan meninggalkan kami begitu saja dan membiarkan ibu menjadi pembantu rumah tangga untuk menegakkan kehidupan. Tidak seharusnya dia membiarkan ibu sendirian menelan pil pahit kehidupan. Tidak seharusnya dia menelantarkan anak manusia yang lahir akibat ulah dan perbuatannya. Apa memang semua laki-laki seperti itu?
            Uang ini tidak akan menyelesaikan masalah. Uang ini tidak bisa mengobati rasa sakit yang ibu alami. Uang ini tidak bisa menyembuhkan luka batin. Ini hanya sebuah bentuk tanggung jawab. Titik. Aku memasukkan uang itu kembali ke dalam amplopnya dan meletakkannya di atas meja belajar. Segera kuraih handuk yang ada di tumpukan baju di lemari dan berjalan menuju kamar mandi. Semoga air hangat bisa menyelamatkan aku dari tubuh yang membeku karena dingin. Biar air ini membasuh letih raga dan jiwa setelah penuh penat menjalani hari ini. Pun biar air ini menghanyutkan bau tubuh laki-laki itu, biar habis tak tersisa, sebelum aku memuntahkannya.
            Kukenakan pakaian tidurku dan turun ke lantai bawah. Di meja makan ibu telah menungguku. Ibu duduk di kursi, lengannya berada di atas meja dengan kedua telapak tangan di dahinya, sehingga wajahnya tak terlihat. Aku mendekatinya. Ia tak bergerak. Aku berdiri di sampingnya, mencoba melihat lebih jelas wajahnya. Tampaknya ibu tertidur lagi, mungkin ia kecapaian setelah seharian bekerja. Aku mengalungkan tanganku di leher ibu dan menempelkan kepalaku ke kepalanya. Aku merasakan kehangatannya. Kemudian aku mengecup pipinya. Oh, sungguh, aku mengasihi wanita ini. Dia melahirkan, merawat, membesarkan, dan menyekolahkan aku. Tanpa dia aku tidak akan hidup sampai detik ini...
Sejenak kemudian ibu tersadar akan kehadiranku. “Ahh...maaf ya, Ibu tertidur sebentar. Ayo, kita makan! Semua kesukaanmu telah Ibu masakkan, makan yang banyak ya,” ujarnya sambil mengambil piring dan nasi untukku. Aku melayangkan pandanganku kepada berbagai makanan yang tersaji di atas beberapa piring yang berbeda. Semua ada dagingnya, makanan mewah. Pasti hari ini ibu baru terima gaji sehingga ia bisa menghamburkan banyak uang untuk memuaskan lidah kelu anaknya. Sejujurnya aku tidak peduli makanan apa yang aku makan. Tidak perlu mahal dan mewah, asal bisa dimakan, dan kalau bisa bergizi. Namun ini bukan waktu yang tepat untuk berkomentar. Aku harus menghargai apa yang telah ibu berikan kepadaku. Aku mengambil sedikit dari semua lauk yang ada dan meletakkannya di atas piringku. Aku makan dengan lahap. “Enak?” tanya ibu. Aku menganggukkan kepala dan tersenyum. Ibu menyadari mulutku belepotan dengan kecap akibat menggigit paha ayam bakar, lalu dengan cekatan ibu menghapusnya dengan tissue. Aku tersenyum malu dan melanjutkan makanku. Menyadari bahwa ibu tidak kunjung mulai makan, aku pun mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Ibu tersenyum dan mulai menyendokkan makanan ke mulutnya.
            Keesokan pagi saat aku masih terkantuk-kantuk, aku melangkahkan kaki ke dapur. Aku membuka lemari es dan mengambil sebuah botol minum lalu mengucurkan air itu ke dalam mulutku, untuk mengisi rongga tenggorokanku yang menjerit minta dipuaskan dari dahaga. Setelah selesai minum dan mengembalikan botol itu ke raknya, aku menutup lemari es. Sejenak aku menyadari ada memo kecil dengan tulisan tangan ibu.
Tuan Hans meminta ibu untuk pergi ke pasar pagi-pagi. Sarapan sudah ibu siapkan di meja. Kuliah yang sungguh-sungguh ya.
-Ibu-
            Aku membuka tudung saji di meja makan. Ibu ternyata benar-benar telah menyiapkannya. Aku melihat ke arah jam dinding dan menyadari tak banyak waktu tersisa sebelum kelas jam pertama dimulai. Aku bergegas mandi, sarapan, dan berangkat ke kampus. Kampusku tak jauh, aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki. Di tengah jalan aku bertemu temanku, Melissa. “Pagi, Lyra. Pagi yang indah ya,” ujarnya dengan wajah sumringah seperti biasa. Aku menganggukkan kepala tanda setuju. Kami berjalan bersama sampai kampus. Melissa, teman baikku satu-satunya. Juga satu-satunya orang yang tidak banyak bertanya padaku. Dia orang yang selalu menemani aku, selain ibuku. Keceriaannya menghadirkan matahari di duniaku. Sinarnya hangat tanpa menyengat berbalut kelembutan awan di saat hujan menggelayut jiwaku.
            Di kelas saat penghujung jam kuliah. “Karena saya rasa buku ini ini sangat penting untuk Saudara, maka saya mewajibkan Saudara sekalian untuk membeli buku ini. Apakah ada yang keberatan?” ‘Sayaaa!!!’ Jeritku di dalam hati. Itu adalah buku impor yang tebal, harganya pasti mencapai ratusan ribu. Membeli bekasnya ataupun membuat kopiannya pun tidak akan menggeser harganya ke angka puluhan. Uang dari mana???
            Aku berada di kamarku sore ini. Memegang erat amplop dari laki-laki itu. Haruskah aku menggunakan uang ini? Bila isi amplop ini ditambah dengan tabunganku maka aku sanggup membeli buku itu, tapi bagaimana kalau nanti dia mengklaim dirinya sebagai laki-laki bertanggungjawab karena uang yang ia berikan? Tapi aku juga perlu buku itu. Haruskah aku meminta uang dari ibu? Tapi dari mana ibu bisa mendapatkan uang sebesar itu dalam waktu singkat? Sedangkan untuk hidup sehari-hari saja sudah pas-pasan. Maksudku, sangat pas sekali, tidak lebih, tapi tidak kurang juga, apalagi sampai meminta-minta. Ah, sialan! Ini semua gara-gara buku itu. Buku sialan!
            Sore ini Mel, begitu sapaanku buat Melissa, mengajak aku ke taman. Katanya ada yang mau dibicarakan denganku. Dia sedang butuh orang untuk bercerita dan hanya akulah yang dia temukan dalam kemelut pikirannya. Oleh karena itu, aku mengiyakan permintaannya. Kalau bukan Mel yang meminta, sudah barang tentu aku tidak akan menghiraukannya. ‘Mau berbicara.’ Apa yang mau dibicarakan? Mendengar kata ‘bicara’ saja sudah membuat aku muak.
            “Ayahku semalam masuk rumah sakit. Dia koma karena kecelakaan,” ujarnya mengawali pembicaraan. Matanya sembab, sisa dari tangisan semalam, dan kini di sudut matanya dia telah memanggil hujan untuk turun kembali mengguyur matanya. Mungkin memang hanya itu satu-satunya cara untuk membuat perasaannya menjadi lebih tenang dan lega, dengan melampiaskannya melalui butiran-butiran kaca yang hancur begitu menyentuh tanah. Begitu rapuh, seperti perasaannya saat ini. Dia melanjutkan, “Ayah tidak punya asuransi, Ibu juga tidak punya tabungan untuk saat-saat mendadak seperti ini. Apalagi aku yang masih kuliah. Aku bingung, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Sebagai anak tunggal dari keluarga, setidaknya aku harus melakukan sesuatu di saat seperti ini. Aku ingin membantu. Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?” Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya menggenggam erat amplop coklat yang nantinya ingin aku gunakan untuk membeli buku di toko buku di dekat taman ini. Akhirnya aku memutuskan dengan cepat, lebih cepat dari hitungan 1-10, untuk menyerahkan amplop itu padanya. “Apa ini?” Mel membuka dan mengeluarkan isinya. “Ya ampun, uang dari mana ini? Jangan, kamu tidak boleh memberikannya untukku.” Ketika Mel selesai mengucapkan kata terakhir dari kalimat itu aku telah pergi menjauh darinya. Mungkin dia hanya melihat punggungku dari kejauhan. Dia tidak mengejarku, berarti dia sungguh memerlukannya, dan aku tidak keberatan untuk memberikannya. Dia lebih memerlukan itu daripada aku. Dia perlu uang untuk menghidupkan ayahnya. Sedangkan ayahku masih hidup, meskipun dia mati. Uang tidak akan bisa menghidupkan ayahku. Hanya sosok yang bernama Tuhan yang bisa melakukannya, yah kalau Dia mau...
Hari Sabtu. Sudah seharian aku di perpustakaan. Berbekal buku tulis tebal dan ballpoint aku duduk di sudut perpustakaan. Di depanku sudah ada buku bedebah itu. Tidak akan kubiarkan! Ya! Tidak akan kubiarkan! Aku tidak akan rela bila karena buku sialan ini aku tidak lulus mata kuliah profesor itu. Aku memang miskin, tapi semangatku tidak miskin. Akan aku buktikan kalau aku sanggup merangkum isi buku ini dan menghapalkan isinya! Harus!
Orang bilang Tuhan itu adil. Di satu sisi aku memang ada kelemahan di fisikku, namun di sisi lain otakku melebihi dengkulku. Semangatku untuk survive mengatasi segala kelemahanku. Bahkan Ibu sempat kaget saat aku mengatakan bahwa aku ingin kuliah! Otak dan semangatku. Cuma dua hal itu yang membuat aku bisa bertahan, setidaknya hingga saat ini. Dengan rajin mengunjungi perpustakaan, memelototi buku besar yang tidak boleh dipinjam untuk dibawa pulang itu, akhirnya seminggu kemudian rangkuman isi buku itu selesai. Jangan ditanya apakah aku tahu apa isinya. Sebutkan saja nomor halaman 1-1296 dan aku akan menyebutkan apa isinya. Bahkan aku akan memberimu kesempatan untuk membuka buku itu dan mengecek kebenarannya!
“Lyra, kenalkan ini Bunda Mila. Sudah lama Ayah ingin mengenalkannya padamu.” Sore itu aku bertemu dengan wanita yang telah menggantikan posisi ibu selama bertahun-tahun ini. Seorang wanita cantik yang sembilan tahun lebih muda dari ibuku plus senyuman lebar dan muka yang lebih ramah. Ayah mencintai wanita ini, bahkan mungkin lebih dari aku dan ibuku. Buktinya ia meninggalkan kami dan hidup bersamanya. Bahkan dia tega menceraikan ibuku di saat aku masih kecil. Ah, cinta sialan! Benar-benar sialan!
 “Lyra masih kuliah ya? Ambil jurusan apa? Bunda selalu mendengar cerita tentang Lyra, Bunda ingin tahu Lyra, sampai-sampai Bunda memaksa Ayah untuk mempertemukan kita,” ujarnya dengan sangat ramah. Mungkin wanita ini memastikan kebenaran bahwa yang sering ditemui suaminya adalah benar-benar anaknya dan bukan selingkuhannya. Mungkin dia juga ingin memastikan kalau berkurangnya uang belanja bulanannya bukanlah karena digunakan suaminya untuk jajan kesana-kemari, namun untuk memenuhi kewajiban suaminya untuk menghidupi anak semata wayangnya yang ‘dikasihi’nya.
Wanita itu terus mencoba untuk mengakrabkan diri denganku. Hampir setiap hari dia mengirimkan SMS, hanya sekedar menanyakan kabarku atau kabar kuliahku. Namun dia tidak pernah menyinggung soal ibuku, mungkin dia tahu diri kalau dia telah menyakiti perasaan ibuku begitu dalam. Namun aku tidak pernah menanggapinya. Saat dia hendak memasuki pintu gerbang kotaku, aku mengokohkan benteng-bentengku dan memperketat penjagaan di sana. Kali ini tidak akan kubiarkan dia masuk! Dahulu dia berhasil masuk dan menculik ayahku, namun orang bodoh pun tidak mengulang kesalahan yang sama untuk yang kedua kalinya. Aku tidak akan membiarkan dia menculik aku dari ibuku. Tidak!
Suatu waktu aku bekerja paruh waktu membantu temanku di sebuah tempat praktek dokter kandungan. Aku membantu di bagian administrasi. Kerjaanku mengurus data-data pasien. Gajinya tidak banyak namun setidaknya aku bisa menyerap ilmu lebih banyak dari dokter yang begitu ramah itu. Dia selalu menjawab segala macam pertanyaan tentang dunia kedokteran yang aku ajukan kepadanya. Dokter Wawan, demikian dia dipanggil, adalah seorang pria berusia 60-an. Dia pasti sudah kenyang dengan pengetahuan di bidang medis semasa hidupnya dan pengalaman hidupnya pasti sudah begitu kaya. Dokter ini telah ditinggal pergi terlebih dahulu oleh istrinya. Sungguh ironis bahwa istrinya meninggal dunia saat melahirkan anak pertamanya. Ditambah lagi dengan fakta bahwa dia seorang dokter kandungan dan dia sendiri yang membantu proses persalinan istrinya. Mungkin dokter ini bisa menyelamatkan nyawa banyak wanita lain, namun dia tidak mampu menyelamatkan nyawa istrinya sendiri. Yah, setidaknya dia mampu menyelamatkan nyawa anaknya. Yang aku kagumi darinya adalah dia tidak pernah menikah lagi sejak ditinggal mati istrinya. Dia memutuskan untuk hidup berdua dengan putranya, Dokter Andi, yang juga mengajar di kampusku. Ah, dia juga seorang ayah...
Suatu hari di tempat praktek Dokter Wawan aku melihat wanita yang oleh ayah disebut bunda. Dia datang sendirian tanpa ditemani ayah. Aku sengaja menyembunyikan diri agar tak terlihat olehnya. Aku penasaran tentang apa yang dilakukannya di tempat ini. Aku pun sudah siap kalau ternyata dia kemari karena mengandung anak dari ayahku, meski aku tak sanggup punya adik tiri. Asalkan ayah bahagia dengan adanya anak itu, aku juga akan turut bahagia. Nantinya ayah akan memiliki seseorang yang mampu menggantikan posisiku di dalam hidupnya, seperti ayah telah menggantikan ibu dengan bunda. Mencari yang lebih baik, mungkin itu insting dasar manusia. Menggantikan yang cacat dengan yang sempurna, yang usang dengan yang baru. Aku bisa memakluminya.
Aku menanyakan perihal wanita itu pada temanku. Temanku yang membantu Dokter Wawan di dalam ruangannya pasti tahu apa yang menjadi maksud dan tujuan kedatangan wanita itu kemari. Temanku menjelaskan kalau wanita itu bermasalah dengan kesuburan kandungannya. Wanita itu sulit hamil. Begitulah penjelasan yang dia berikan. Begitu singkat namun bisa menguraikan sesuatu yang kompleks. Inilah alasannya kenapa wanita itu mendekatiku. Dia sadar kalau dia tidak bisa memberikan ayah keturunan sehingga dia bermaksud menjadikan aku sebagai anaknya. Ayah selalu menyukai anak kecil dan selalu berkata padaku bahwa sejak lama dia memimpikan memiliki seorang anak dari darah dan dagingnya sendiri, hingga akhirnya memiliki aku. Ah, ayah...
Aku tidak pernah menceritakan tentang bunda pada ibu. Mendengar cerita kalau aku sering menemui ayah saja, aku yakin ibu akan marah besar, apalagi kalau aku bercerita tentang wanita itu. Itu akan menjadikan aku anak yang tidak tahu diri dan tidak punya perasaan. Hal itu akan menyakiti hatinya dan menggoreskan luka yang lebih dalam pada jantung hatinya. Mungkin juga sisa semangat hidupnya akan padam dan dia akan memberikan aku pada ayah. Tidak! Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sekali-kali tidak!
“Kamu hanya bisa melahirkan anak cacat! Aku ingin anak yang sempurna, yang utuh dan lengkap! Buat apa punya anak yang pintar luar biasa tapi bisu! Buat apa punya anak yang bahkan tidak sanggup memanggilku ayah! Buat apa! Sialan! Sialan!” teriakan pria itu memekakkan telinga, amarahnya telah sampai di ubun-ubun, tidak ada orang yang sanggup untuk menahannya. Ibu hanya bisa menangis tersungkur di bawah kaki ayah, tidak mampu mengucap apa-apa. Tangannya memegang pipi yang barusan ditampar ayah, mungkin ia merasa kesakitan. Meski menyaksikannya aku tidak sanggup melakukan apa-apa. Bocah berumur 4 tahun yang memakai baju tidur hanya mampu bersembunyi di balik daun pintu sambil mengintip dari kejauhan. ‘Mungkin laki-laki itu baru akan sadar akan kelakuannya bila ia merasakan bagaimana rasanya ditampar oleh Tuhan.’ Begitu kataku dalam hati.
Sebulan kemudian mereka berdua sepakat untuk melakukan perceraian. Alasannya sudah jelas, tidak perlu aku ungkapkan lagi. Ibu yang tidak bisa memberikan adik padaku hanya bisa pasrah. Setelah aku lahir tampaknya Tuhan telah menutup kandungannya. Namun ia tidak kecewa. Ia berusaha tegar dan membesarkan aku hingga saat ini. Ia bangga padaku yang selalu menggapai prestasi teratas selama menempuh pendidikanku. Ibu sungguh-sungguh membesarkan aku dengan darah dan air mata. Menahan setiap rasa sakit setiap kali orang membicarakan tentang aku dan ayah. Ah...andai aku bisa memanggilnya ibu. Andai aku bisa mengatakan bahwa aku sangat menyayanginya.
Tidak terasa air mataku mengalir deras membentuk parit kecil di sudut mataku. Aku membuka mataku. Tampaknya hanya mimpi. Sekelumat pahit di masa lalu. Peristiwa itu telah menjadi tugu peringatan yang tidak pernah bisa kulupakan. Semuanya terjadi begitu singkat dan akhirnya selama 16 tahun ini aku tidak mengenal sosok ayah. Hanya akhir-akhir ini, sekitar sebulan ini, tiba-tiba hampir tiap hari ayah menjumpaiku. Saat pertama bertemu aku tidak lagi mengenalinya. Terakhir yang aku lihat adalah sosoknya dari belakang saat meninggalkan rumah. Mengenakan mantel panjang berwarna hitam dan membawa sebuah koper besar. Bagaimana aku mampu mengingatnya bila bahkan di saat terakhir itu ia tidak memalingkan muka untuk memandang kami?
Laki-laki itu berhasil meyakinkan aku bahwa dia ayahku saat ia tiba-tiba datang ke rumah dan bertemu ibu. Ibu mengenalinya! Saat melihatnya, aku merasakan perasaan ibu berkecamuk hebat. Raut wajahnya berubah dan lima detik kemudian ia mengusir laki-laki itu pergi. Laki-laki itu tidak membantah dan segera meninggalkan pintu rumah. Aku memandang sosoknya dari belakang, ternyata dia memang ayah! Di satu sisi perasanku berkata aku harus membencinya, namun di sisi lain aku merindukan ayah. Merindukan lengan besar yang dahulu memeluk dan menggendongku. Itulah yang membuat aku mau untuk sering-sering bertemu dengannya. Mungkin dengan sering menemuinya aku mampu merajut setiap kepingan-kepingan yang tersisa mengenai sosok seorang ayah dan mampu menceritakan sesuatu padamu mengenai ayah.

Nyanyian kepada Ayah

Ayah, aku hendak bernyanyi untukmu
Dengarlah!

Ayah, tak pernah aku melupakanmu
Sosokmu dari belakang menceritakan banyak hal kepadaku
Ia bercerita tentang lukisan seorang lelaki yang penuh kebencian kepada takdir
Dan kini tentang gambaran lelaki penuh kesepian

Ayah, bila ku mampu ku akan memanggil namamu
Bukan hanya sekali bahkan ribuan kali
Hingga habis suaraku akan aku serukan:
Ayah, ayah!

Namun lidahku kelu selalu
Suaraku tak mampu keluar
Tenggorokanku tercekat dan tertutup rapat
Ah, sialan!

Benar kata Ayah: aku hanya seorang bisu
Tapi aku ini tetap anakmu
Anak yang mengasihi dan merindukanmu selalu
Anak yang mencoba membanggakanmu melalui prestasiku

Aku memang tidak berguna seperti katamu
Tak mampu aku menyerukan namamu
Aku hanya bisa diam, melihat, dan mendengarmu
Mengagumi sosokmu dari jauh

Tapi kini aku bernyanyi untukmu ayah
Dengarkanlah!

Engkau tentu tahu
Terlalu mustahil aku meninggalkan ibu
Bukan berarti aku tak menyayangimu

Aku ingin engkau mengerti
Sosokmu selalu di hati

Bahkan hingga kini aku tetap mengasihimu
Aku tidak memaafkanmu
Karena aku tidak pernah membencimu

Jarak dan waktu tidak akan pernah mengubahku
Aku tetap anakmu
Tak perlu kau kuatir
Meski aku tak di sisimu
Aku tetap mengasihimu

Aku akan selalu memandang dari kejauhan
Dan mengenang sosokmu dari belakang


x

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATILAH RASA

Istirahlah dalam kesunyian hai jiwaku Engkau dalam ikatan benang-benang takdir Sekali lagi bercakap di dalam hatiku Aku mabuk dalam mimpi-mimpimu Lupa akan segala rasa sakit dan pahit Sekali lagi membangkitkan amuk api Istirahlah dalam kesunyian hai jiwaku Engkau dalam ikatan benang-benang takdir Takkan terlepas terhempas selamanya Matikan rasa jiwaku Lepaskan aku dari apimu Matilah engkau!

Catatan Seorang Mahasiswa Farmasi

Masa PPK: Perlahan aku menjejaki kampus pagi ini Mencari-cari ruang PPK fakultas farmasi Aku menarik nafas dalam-dalam Aku sadar kini aku seorang mahasiswa Ya! Aku bukan lagi siswa biasa! Berlalu sudah masa abu-abu putih Tapi aku tak boleh berhenti belajar berlatih Demi cita-cita Demi memanusiakan manusiaku Mereka bilang aku seorang pelarian Dari rangkulan dokter ke pelukan apoteker Biar mereka mengejek mencaci Dan berlalu bersama kekecewaan pergi Aku mengukir kata ini di dadaku: FARMASI Ya! Aku memilihmu! Aku tak akan lari Selama Si DO tak menghampiri Masa kuliah: Kau tahu? Aku berusaha tidak terkejut dan takut Saat membaca ISO, HPE, Farmakope, Martindale Saat memegang kodok, kelinci, tikus, dan cindil Aku berusaha menepis rasa sulit Saat menghafal nama-nama parasit Saat mengerjakan laporan likuid dan solid Kau tahu? Aku berusaha tidak KO Sebelum aku benar-benar mengerti KO Aku selalu berusaha menghilangkan rasa stress Tanpa aku harus mengkonsumsi SS Kau tahu? Aku berusa