Aku
melihat bayangannya yang sudah separuh menghilang tenggelam dalam pekat. Ingin
aku menahannya namun aku tidak kuasa. Dia telah menjauh. Ujung mantel
panjangnya yang hitam berkibar diterpa angin. Mengibas-ibas pikiranku tanpa
arah. Namun dia tak peduli dan terus melangkah hingga akhirnya ia benar-benar
ditelan oleh malam.
“Menemui
orang itu lagi?” Sebaris pertanyaan itu menyambut aku yang baru saja
menginjakkan kaki di ruang tamu. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan
itu dan langsung duduk di atas kursi sofa. Kuletakkan tas ransel besar yang
membebani pundakku sedari tadi. Dengan segera terdengar derap langkah yang menghampiriku.
“Kenapa kamu selalu tidak pernah menjawab pertanyaan Ibu?” Aku memalingkan
muka, berusaha tidak memandang wajah wanita yang matanya melotot ini. Sudah
selayaknya aku tidak ikut terbawa emosi negatif dari wanita ini. Semenit
kemudian wanita ini telah menyerah untuk mendesak aku menjawab pertanyaannya. Tampaknya
ia menyadari kesalahan besar yang dia lakukan dengan bertanya: kenapa tidak
menjawab. Ia ingin aku menjawabnya dengan kata-kata. Pertanyaan bodoh macam apa
ini! Sudah barang tentu aku tidak mampu memenuhi permintaannya!
Ia
akhirnya kembali ke dapur dan melanjutkan menyiapkan makan malam. “Ganti baju,
mandi, dan langsung ke meja makan. Sepuluh menit lagi masakan sudah siap,”
ujarnya lemas. Pertanyaan itu kujawab dengan langkah kakiku menuju kamarku di
lantai atas. Saat akan meletakkan jaket abu-abu yang kugunakan, sesuatu
terjatuh. Aku memungutnya. Sebuah amplop coklat. Aku mengeluarkan isinya. Ada
sejumlah lembaran uang sepuluh ribuan. Kalau dihitung ternyata jumlahnya
seratus lima puluh ribu. Aku merogoh kantong amplop dengan bukaan samping itu
lebih dalam lagi dan menemukan secarik kertas putih kecil. Aku membuka kertas
itu dan membaca tulisan tegak bersambung dengan tinta hitam.
Pakai uang ini untuk keperluan kuliahmu.
Tidak banyak, namun setidaknya bisa mengurangi beban
ibumu.
- Dari orang yang selalu mengasihi kamu dan ibumu-
Rupanya laki-laki itu memasukkan
amplop ini sesaat sebelum kami berpisah. Memang tadi dia memelukku sejenak,
jadi tidak aneh kalau dia bisa memasukkan amplop ini. Tetapi seperti kata ibu,
dia bukan laki-laki yang baik. Tidak ada sinkronisasi antara kata-kata yang
diucapkannya dengan kelakuannya. Kalau benar dia mengasihi kami, dia tidak akan
meninggalkan kami begitu saja dan membiarkan ibu menjadi pembantu rumah tangga
untuk menegakkan kehidupan. Tidak seharusnya dia membiarkan ibu sendirian
menelan pil pahit kehidupan. Tidak seharusnya dia menelantarkan anak manusia
yang lahir akibat ulah dan perbuatannya. Apa memang semua laki-laki seperti
itu?
Uang ini tidak akan menyelesaikan
masalah. Uang ini tidak bisa mengobati rasa sakit yang ibu alami. Uang ini
tidak bisa menyembuhkan luka batin. Ini hanya sebuah bentuk tanggung jawab.
Titik. Aku memasukkan uang itu kembali ke dalam amplopnya dan meletakkannya di
atas meja belajar. Segera kuraih handuk yang ada di tumpukan baju di lemari dan
berjalan menuju kamar mandi. Semoga air hangat bisa menyelamatkan aku dari
tubuh yang membeku karena dingin. Biar air ini membasuh letih raga dan jiwa setelah
penuh penat menjalani hari ini. Pun biar air ini menghanyutkan bau tubuh
laki-laki itu, biar habis tak tersisa, sebelum aku memuntahkannya.
Kukenakan pakaian tidurku dan turun
ke lantai bawah. Di meja makan ibu telah menungguku. Ibu duduk di kursi,
lengannya berada di atas meja dengan kedua telapak tangan di dahinya, sehingga
wajahnya tak terlihat. Aku mendekatinya. Ia tak bergerak. Aku berdiri di
sampingnya, mencoba melihat lebih jelas wajahnya. Tampaknya ibu tertidur lagi,
mungkin ia kecapaian setelah seharian bekerja. Aku mengalungkan tanganku di
leher ibu dan menempelkan kepalaku ke kepalanya. Aku merasakan kehangatannya.
Kemudian aku mengecup pipinya. Oh, sungguh, aku mengasihi wanita ini. Dia
melahirkan, merawat, membesarkan, dan menyekolahkan aku. Tanpa dia aku tidak akan
hidup sampai detik ini...
Sejenak
kemudian ibu tersadar akan kehadiranku. “Ahh...maaf ya, Ibu tertidur sebentar.
Ayo, kita makan! Semua kesukaanmu telah Ibu masakkan, makan yang banyak ya,”
ujarnya sambil mengambil piring dan nasi untukku. Aku melayangkan pandanganku
kepada berbagai makanan yang tersaji di atas beberapa piring yang berbeda.
Semua ada dagingnya, makanan mewah. Pasti hari ini ibu baru terima gaji
sehingga ia bisa menghamburkan banyak uang untuk memuaskan lidah kelu anaknya.
Sejujurnya aku tidak peduli makanan apa yang aku makan. Tidak perlu mahal dan
mewah, asal bisa dimakan, dan kalau bisa bergizi. Namun ini bukan waktu yang
tepat untuk berkomentar. Aku harus menghargai apa yang telah ibu berikan kepadaku.
Aku mengambil sedikit dari semua lauk yang ada dan meletakkannya di atas
piringku. Aku makan dengan lahap. “Enak?” tanya ibu. Aku menganggukkan kepala
dan tersenyum. Ibu menyadari mulutku belepotan dengan kecap akibat menggigit
paha ayam bakar, lalu dengan cekatan ibu menghapusnya dengan tissue. Aku tersenyum malu dan
melanjutkan makanku. Menyadari bahwa ibu tidak kunjung mulai makan, aku pun
mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Ibu tersenyum dan mulai menyendokkan
makanan ke mulutnya.
Keesokan pagi saat aku masih
terkantuk-kantuk, aku melangkahkan kaki ke dapur. Aku membuka lemari es dan
mengambil sebuah botol minum lalu mengucurkan air itu ke dalam mulutku, untuk
mengisi rongga tenggorokanku yang menjerit minta dipuaskan dari dahaga. Setelah
selesai minum dan mengembalikan botol itu ke raknya, aku menutup lemari es.
Sejenak aku menyadari ada memo kecil dengan tulisan tangan ibu.
Tuan Hans meminta ibu untuk pergi ke pasar pagi-pagi.
Sarapan sudah ibu siapkan di meja. Kuliah yang sungguh-sungguh ya.
-Ibu-
Aku membuka tudung saji di meja
makan. Ibu ternyata benar-benar telah menyiapkannya. Aku melihat ke arah jam
dinding dan menyadari tak banyak waktu tersisa sebelum kelas jam pertama
dimulai. Aku bergegas mandi, sarapan, dan berangkat ke kampus. Kampusku tak
jauh, aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki. Di tengah jalan aku bertemu
temanku, Melissa. “Pagi, Lyra. Pagi yang indah ya,” ujarnya dengan wajah sumringah seperti biasa. Aku
menganggukkan kepala tanda setuju. Kami berjalan bersama sampai kampus.
Melissa, teman baikku satu-satunya. Juga satu-satunya orang yang tidak banyak
bertanya padaku. Dia orang yang selalu menemani aku, selain ibuku. Keceriaannya
menghadirkan matahari di duniaku. Sinarnya hangat tanpa menyengat berbalut kelembutan
awan di saat hujan menggelayut jiwaku.
Di kelas saat penghujung jam kuliah.
“Karena saya rasa buku ini ini sangat penting untuk Saudara, maka saya
mewajibkan Saudara sekalian untuk membeli buku ini. Apakah ada yang keberatan?”
‘Sayaaa!!!’ Jeritku di dalam hati. Itu adalah buku impor yang tebal, harganya
pasti mencapai ratusan ribu. Membeli bekasnya ataupun membuat kopiannya pun
tidak akan menggeser harganya ke angka puluhan. Uang dari mana???
Aku berada di kamarku sore ini.
Memegang erat amplop dari laki-laki itu. Haruskah aku menggunakan uang ini? Bila
isi amplop ini ditambah dengan tabunganku maka aku sanggup membeli buku itu,
tapi bagaimana kalau nanti dia mengklaim dirinya sebagai laki-laki
bertanggungjawab karena uang yang ia berikan? Tapi aku juga perlu buku itu.
Haruskah aku meminta uang dari ibu? Tapi dari mana ibu bisa mendapatkan uang
sebesar itu dalam waktu singkat? Sedangkan untuk hidup sehari-hari saja sudah
pas-pasan. Maksudku, sangat pas sekali, tidak lebih, tapi tidak kurang juga,
apalagi sampai meminta-minta. Ah, sialan! Ini semua gara-gara buku itu. Buku
sialan!
Sore ini Mel, begitu sapaanku buat
Melissa, mengajak aku ke taman. Katanya ada yang mau dibicarakan denganku. Dia
sedang butuh orang untuk bercerita dan hanya akulah yang dia temukan dalam kemelut
pikirannya. Oleh karena itu, aku mengiyakan permintaannya. Kalau bukan Mel yang
meminta, sudah barang tentu aku tidak akan menghiraukannya. ‘Mau berbicara.’ Apa
yang mau dibicarakan? Mendengar kata ‘bicara’ saja sudah membuat aku muak.
“Ayahku semalam masuk rumah sakit.
Dia koma karena kecelakaan,” ujarnya mengawali pembicaraan. Matanya sembab,
sisa dari tangisan semalam, dan kini di sudut matanya dia telah memanggil hujan
untuk turun kembali mengguyur matanya. Mungkin memang hanya itu satu-satunya
cara untuk membuat perasaannya menjadi lebih tenang dan lega, dengan
melampiaskannya melalui butiran-butiran kaca yang hancur begitu menyentuh
tanah. Begitu rapuh, seperti perasaannya saat ini. Dia melanjutkan, “Ayah tidak
punya asuransi, Ibu juga tidak punya tabungan untuk saat-saat mendadak seperti
ini. Apalagi aku yang masih kuliah. Aku bingung, aku tidak tahu apa yang harus
aku lakukan. Sebagai anak tunggal dari keluarga, setidaknya aku harus melakukan
sesuatu di saat seperti ini. Aku ingin membantu. Menurutmu, apa yang harus aku
lakukan?” Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya menggenggam erat amplop
coklat yang nantinya ingin aku gunakan untuk membeli buku di toko buku di dekat
taman ini. Akhirnya aku memutuskan dengan cepat, lebih cepat dari hitungan
1-10, untuk menyerahkan amplop itu padanya. “Apa ini?” Mel membuka dan
mengeluarkan isinya. “Ya ampun, uang dari mana ini? Jangan, kamu tidak boleh
memberikannya untukku.” Ketika Mel selesai mengucapkan kata terakhir dari
kalimat itu aku telah pergi menjauh darinya. Mungkin dia hanya melihat
punggungku dari kejauhan. Dia tidak mengejarku, berarti dia sungguh
memerlukannya, dan aku tidak keberatan untuk memberikannya. Dia lebih memerlukan
itu daripada aku. Dia perlu uang untuk menghidupkan ayahnya. Sedangkan ayahku
masih hidup, meskipun dia mati. Uang tidak akan bisa menghidupkan ayahku. Hanya
sosok yang bernama Tuhan yang bisa melakukannya, yah kalau Dia mau...
Hari
Sabtu. Sudah seharian aku di perpustakaan. Berbekal buku tulis tebal dan ballpoint aku duduk di sudut
perpustakaan. Di depanku sudah ada buku bedebah itu. Tidak akan kubiarkan! Ya!
Tidak akan kubiarkan! Aku tidak akan rela bila karena buku sialan ini aku tidak
lulus mata kuliah profesor itu. Aku memang miskin, tapi semangatku tidak
miskin. Akan aku buktikan kalau aku sanggup merangkum isi buku ini dan
menghapalkan isinya! Harus!
Orang
bilang Tuhan itu adil. Di satu sisi aku memang ada kelemahan di fisikku, namun
di sisi lain otakku melebihi dengkulku. Semangatku untuk survive mengatasi segala kelemahanku. Bahkan Ibu sempat kaget saat
aku mengatakan bahwa aku ingin kuliah! Otak dan semangatku. Cuma dua hal itu
yang membuat aku bisa bertahan, setidaknya hingga saat ini. Dengan rajin
mengunjungi perpustakaan, memelototi buku besar yang tidak boleh dipinjam untuk
dibawa pulang itu, akhirnya seminggu kemudian rangkuman isi buku itu selesai.
Jangan ditanya apakah aku tahu apa isinya. Sebutkan saja nomor halaman 1-1296
dan aku akan menyebutkan apa isinya. Bahkan aku akan memberimu kesempatan untuk
membuka buku itu dan mengecek kebenarannya!
“Lyra,
kenalkan ini Bunda Mila. Sudah lama Ayah ingin mengenalkannya padamu.” Sore itu
aku bertemu dengan wanita yang telah menggantikan posisi ibu selama
bertahun-tahun ini. Seorang wanita cantik yang sembilan tahun lebih muda dari ibuku
plus senyuman lebar dan muka yang lebih ramah. Ayah mencintai wanita ini,
bahkan mungkin lebih dari aku dan ibuku. Buktinya ia meninggalkan kami dan
hidup bersamanya. Bahkan dia tega menceraikan ibuku di saat aku masih kecil.
Ah, cinta sialan! Benar-benar sialan!
“Lyra masih kuliah ya? Ambil jurusan apa?
Bunda selalu mendengar cerita tentang Lyra, Bunda ingin tahu Lyra,
sampai-sampai Bunda memaksa Ayah untuk mempertemukan kita,” ujarnya dengan
sangat ramah. Mungkin wanita ini memastikan kebenaran bahwa yang sering ditemui
suaminya adalah benar-benar anaknya dan bukan selingkuhannya. Mungkin dia juga
ingin memastikan kalau berkurangnya uang belanja bulanannya bukanlah karena
digunakan suaminya untuk jajan kesana-kemari, namun untuk memenuhi kewajiban
suaminya untuk menghidupi anak semata wayangnya yang ‘dikasihi’nya.
Wanita
itu terus mencoba untuk mengakrabkan diri denganku. Hampir setiap hari dia
mengirimkan SMS, hanya sekedar menanyakan kabarku atau kabar kuliahku. Namun
dia tidak pernah menyinggung soal ibuku, mungkin dia tahu diri kalau dia telah
menyakiti perasaan ibuku begitu dalam. Namun aku tidak pernah menanggapinya.
Saat dia hendak memasuki pintu gerbang kotaku, aku mengokohkan
benteng-bentengku dan memperketat penjagaan di sana. Kali ini tidak akan
kubiarkan dia masuk! Dahulu dia berhasil masuk dan menculik ayahku, namun orang
bodoh pun tidak mengulang kesalahan yang sama untuk yang kedua kalinya. Aku
tidak akan membiarkan dia menculik aku dari ibuku. Tidak!
Suatu
waktu aku bekerja paruh waktu membantu temanku di sebuah tempat praktek dokter
kandungan. Aku membantu di bagian administrasi. Kerjaanku mengurus data-data
pasien. Gajinya tidak banyak namun setidaknya aku bisa menyerap ilmu lebih
banyak dari dokter yang begitu ramah itu. Dia selalu menjawab segala macam
pertanyaan tentang dunia kedokteran yang aku ajukan kepadanya. Dokter Wawan,
demikian dia dipanggil, adalah seorang pria berusia 60-an. Dia pasti sudah
kenyang dengan pengetahuan di bidang medis semasa hidupnya dan pengalaman
hidupnya pasti sudah begitu kaya. Dokter ini telah ditinggal pergi terlebih
dahulu oleh istrinya. Sungguh ironis bahwa istrinya meninggal dunia saat
melahirkan anak pertamanya. Ditambah lagi dengan fakta bahwa dia seorang dokter
kandungan dan dia sendiri yang membantu proses persalinan istrinya. Mungkin
dokter ini bisa menyelamatkan nyawa banyak wanita lain, namun dia tidak mampu
menyelamatkan nyawa istrinya sendiri. Yah, setidaknya dia mampu menyelamatkan
nyawa anaknya. Yang aku kagumi darinya adalah dia tidak pernah menikah lagi
sejak ditinggal mati istrinya. Dia memutuskan untuk hidup berdua dengan
putranya, Dokter Andi, yang juga mengajar di kampusku. Ah, dia juga seorang
ayah...
Suatu
hari di tempat praktek Dokter Wawan aku melihat wanita yang oleh ayah disebut
bunda. Dia datang sendirian tanpa ditemani ayah. Aku sengaja menyembunyikan
diri agar tak terlihat olehnya. Aku penasaran tentang apa yang dilakukannya di
tempat ini. Aku pun sudah siap kalau ternyata dia kemari karena mengandung anak
dari ayahku, meski aku tak sanggup punya adik tiri. Asalkan ayah bahagia dengan
adanya anak itu, aku juga akan turut bahagia. Nantinya ayah akan memiliki seseorang
yang mampu menggantikan posisiku di dalam hidupnya, seperti ayah telah
menggantikan ibu dengan bunda. Mencari yang lebih baik, mungkin itu insting
dasar manusia. Menggantikan yang cacat dengan yang sempurna, yang usang dengan
yang baru. Aku bisa memakluminya.
Aku
menanyakan perihal wanita itu pada temanku. Temanku yang membantu Dokter Wawan
di dalam ruangannya pasti tahu apa yang menjadi maksud dan tujuan kedatangan
wanita itu kemari. Temanku menjelaskan kalau wanita itu bermasalah dengan
kesuburan kandungannya. Wanita itu sulit hamil. Begitulah penjelasan yang dia
berikan. Begitu singkat namun bisa menguraikan sesuatu yang kompleks. Inilah
alasannya kenapa wanita itu mendekatiku. Dia sadar kalau dia tidak bisa
memberikan ayah keturunan sehingga dia bermaksud menjadikan aku sebagai
anaknya. Ayah selalu menyukai anak kecil dan selalu berkata padaku bahwa sejak
lama dia memimpikan memiliki seorang anak dari darah dan dagingnya sendiri,
hingga akhirnya memiliki aku. Ah, ayah...
Aku
tidak pernah menceritakan tentang bunda pada ibu. Mendengar cerita kalau aku
sering menemui ayah saja, aku yakin ibu akan marah besar, apalagi kalau aku
bercerita tentang wanita itu. Itu akan menjadikan aku anak yang tidak tahu diri
dan tidak punya perasaan. Hal itu akan menyakiti hatinya dan menggoreskan luka
yang lebih dalam pada jantung hatinya. Mungkin juga sisa semangat hidupnya akan
padam dan dia akan memberikan aku pada ayah. Tidak! Aku tidak akan membiarkan
hal itu terjadi. Sekali-kali tidak!
“Kamu
hanya bisa melahirkan anak cacat! Aku ingin anak yang sempurna, yang utuh dan
lengkap! Buat apa punya anak yang pintar luar biasa tapi bisu! Buat apa punya
anak yang bahkan tidak sanggup memanggilku ayah! Buat apa! Sialan! Sialan!”
teriakan pria itu memekakkan telinga, amarahnya telah sampai di ubun-ubun,
tidak ada orang yang sanggup untuk menahannya. Ibu hanya bisa menangis
tersungkur di bawah kaki ayah, tidak mampu mengucap apa-apa. Tangannya memegang
pipi yang barusan ditampar ayah, mungkin ia merasa kesakitan. Meski menyaksikannya
aku tidak sanggup melakukan apa-apa. Bocah berumur 4 tahun yang memakai baju
tidur hanya mampu bersembunyi di balik daun pintu sambil mengintip dari
kejauhan. ‘Mungkin laki-laki itu baru akan sadar akan kelakuannya bila ia
merasakan bagaimana rasanya ditampar oleh Tuhan.’ Begitu kataku dalam hati.
Sebulan
kemudian mereka berdua sepakat untuk melakukan perceraian. Alasannya sudah
jelas, tidak perlu aku ungkapkan lagi. Ibu yang tidak bisa memberikan adik padaku
hanya bisa pasrah. Setelah aku lahir tampaknya Tuhan telah menutup
kandungannya. Namun ia tidak kecewa. Ia berusaha tegar dan membesarkan aku
hingga saat ini. Ia bangga padaku yang selalu menggapai prestasi teratas selama
menempuh pendidikanku. Ibu sungguh-sungguh membesarkan aku dengan darah dan air
mata. Menahan setiap rasa sakit setiap kali orang membicarakan tentang aku dan
ayah. Ah...andai aku bisa memanggilnya ibu. Andai aku bisa mengatakan bahwa aku
sangat menyayanginya.
Tidak
terasa air mataku mengalir deras membentuk parit kecil di sudut mataku. Aku
membuka mataku. Tampaknya hanya mimpi. Sekelumat pahit di masa lalu. Peristiwa
itu telah menjadi tugu peringatan yang tidak pernah bisa kulupakan. Semuanya
terjadi begitu singkat dan akhirnya selama 16 tahun ini aku tidak mengenal
sosok ayah. Hanya akhir-akhir ini, sekitar sebulan ini, tiba-tiba hampir tiap
hari ayah menjumpaiku. Saat pertama bertemu aku tidak lagi mengenalinya.
Terakhir yang aku lihat adalah sosoknya dari belakang saat meninggalkan rumah.
Mengenakan mantel panjang berwarna hitam dan membawa sebuah koper besar.
Bagaimana aku mampu mengingatnya bila bahkan di saat terakhir itu ia tidak
memalingkan muka untuk memandang kami?
Laki-laki
itu berhasil meyakinkan aku bahwa dia ayahku saat ia tiba-tiba datang ke rumah
dan bertemu ibu. Ibu mengenalinya! Saat melihatnya, aku merasakan perasaan ibu
berkecamuk hebat. Raut wajahnya berubah dan lima detik kemudian ia mengusir
laki-laki itu pergi. Laki-laki itu tidak membantah dan segera meninggalkan
pintu rumah. Aku memandang sosoknya dari belakang, ternyata dia memang ayah! Di
satu sisi perasanku berkata aku harus membencinya, namun di sisi lain aku
merindukan ayah. Merindukan lengan besar yang dahulu memeluk dan menggendongku.
Itulah yang membuat aku mau untuk sering-sering bertemu dengannya. Mungkin
dengan sering menemuinya aku mampu merajut setiap kepingan-kepingan yang
tersisa mengenai sosok seorang ayah dan mampu menceritakan sesuatu padamu
mengenai ayah.
Nyanyian kepada Ayah
Ayah, aku hendak bernyanyi untukmu
Dengarlah!
Ayah, tak pernah aku melupakanmu
Sosokmu dari belakang menceritakan banyak hal kepadaku
Ia bercerita tentang lukisan seorang lelaki yang penuh
kebencian kepada takdir
Dan kini tentang gambaran lelaki penuh kesepian
Ayah, bila ku mampu ku akan memanggil namamu
Bukan hanya sekali bahkan ribuan kali
Hingga habis suaraku akan aku serukan:
Ayah, ayah!
Namun lidahku kelu selalu
Suaraku tak mampu keluar
Tenggorokanku tercekat dan tertutup rapat
Ah, sialan!
Benar kata Ayah: aku hanya seorang bisu
Tapi aku ini tetap anakmu
Anak yang mengasihi dan merindukanmu selalu
Anak yang mencoba membanggakanmu melalui prestasiku
Aku memang tidak berguna seperti katamu
Tak mampu aku menyerukan namamu
Aku hanya bisa diam, melihat, dan mendengarmu
Mengagumi sosokmu dari jauh
Tapi kini aku bernyanyi untukmu ayah
Dengarkanlah!
Engkau tentu tahu
Terlalu mustahil aku meninggalkan ibu
Bukan berarti aku tak menyayangimu
Aku ingin engkau mengerti
Sosokmu selalu di hati
Bahkan hingga kini aku tetap mengasihimu
Aku tidak memaafkanmu
Karena aku tidak pernah membencimu
Jarak dan waktu tidak akan pernah mengubahku
Aku tetap anakmu
Tak perlu kau kuatir
Meski aku tak di sisimu
Aku tetap mengasihimu
Aku akan selalu memandang dari kejauhan
Dan mengenang sosokmu dari belakang
x
Komentar
Posting Komentar